Dia yang lama tak kuketahui kabarnya, semakin dewasa, matang dan bijaksana. Sikapnya membuat rasa simpatikku terus tumbuh. Tak dapat dipungkiri bahwa dia juga turut andil dalam “perubahan” yang terjadi pada diriku sekarang. Dialah penasehatku, tempat aku bertanya dan belajar banyak hal. Dia memang tak pernah tahu perasaanku sampai akhirnya aku memberanikan diri mengatakan semuanya. Mungkin ada yang bertanya, apa kamu sudah gila? Atau ada yang mencapku tak tahu malu, biarlah…
Saat itu tahun terakhir kuliahku sedangkan dia sudah lulus terlebih dahulu. Setelah memantapkan hati dan berdoa memohon petunjuk-Nya akhirnya kulayangkan juga “email” itu. Sebuah email yang menceritakan semua tentang perasaanku selama ini dan email yang secara tak langsung mengatakan “ijinkan aku menjadi istrimu…”. Mungkin ini terlalu lancang tapi inilah kenyataan yang terjadi, semuanya harus dikatakan. Kurang lebih satu bulan, dia memberikan jawabannya bahwa ia hanya bisa menjadi kakakku saja. Kecewa pasti ada tapi dari caranya menanggapi sikapku justru aku semakin hormat dan simpatik padanya.
Kakak, aku memang anak pertama yang tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang kakak. Seperti janjiku bahwa tak ingin memutus tali silaturahmi maka aku terima tawarannya, untuk hanya menjadi adik perempuannya saja. Komunikasi kami masih berlanjut, dia tetap menjadi penasehat dan tempatku bertanya. Satu hal yang mungkin tak kusadari atau aku tak mau menyadarinya bahwa ternyata aku masih menyimpan secuil “perasaan itu”, harapan bahwa suatu saat dia bisa berubah pikiran. Entah sengaja atau tidak, diapun “mengenalkanku” pada sahabatnya beberapa waktu sebelum akhirnya harapan itu benar – benar sirna.
Dan beberapa malam yang lalu, dari sahabatnya aku tahu siapa wanita yang akan mendampingnya untuk menggenapkan setengah dien-nya. Alhamdulillah…memang itu yang terlintas pertama kali saat mendengar kabar itu, akhirnya Allah memutuskanku untuk berhenti berharap. Allah menjawab pertanyaanku selama ini tentang siapa sosok wanita yang akan mengisi ruang dihatinya. Sosok wanita sholehah yang Insya Allah kutahu jauh lebih baik dariku dan lebih pantas mendampinginya. Aku pikir semuanya akan biasa saja, bukankah seharusnya aku senang mendengar kakakku akan menikah? Bukankah aku ingin mencintai karena Allah? Bukankah hanya Allah yang patut dicintai melebihi segalanya? Ternyata tidak semudah itu…
Sehari dua hari aku sempat “limbung” seperti kehilangan pijakan. Waktuku banyak dihabiskan diatas hamparan sajadah hanya untuk merenungi mengapa ini harus terjadi? Mengapa aku harus jatuh cinta padanya? Mengapa aku harus mengenalnya? Dan banyak “mengapa” lainnya berkelebat dipikiranku. Akhirnya kutulis lagi sebuah pesan untuknya, bukan untuk mencegahnya menikah melainkan “mengembalikan” sisa perasaan yang kupunya. Meski saat itu masih dengan berat hati, aku tetap mengucapkan selamat dan berharap dia mengundangku ke pernikahannya nanti. Apakah aku sanggup untuk hadir? Lihat saja nanti…
Allah terlalu sayang padaku dan tak tega melihatku terlalu banyak menitikkan air mata. Perlahan Dia bukakan kembali hati dan pikiranku dan menyadarkanku bahwa inilah jalan yang terbaik, meski yang terbaik tak selalu yang terindah. Mungkin bukan aku yang terbaik untuknya dan sebaliknya bukan dia yang terbaik untukku.
Kami punya mimpi masing – masing dan peran yang harus kami lakoni sebagai khalifah dimuka bumi ini. Aku punya segudang mimpi yang masih menanti untuk aku wujudkan, jika dia memilihku mungkin aku harus pergi bersamanya dan meninggalkan semua mimpiku di kota ini. Aku tahu keinginan dan mimpi dia jauh lebih tinggi dari mimpiku dan dia membutuhkan seseorang yang siap menemaninya kapanpun dan dimanapun untuk meraih mimpinya disana, jauh ditempat yang berbeda.
Aku percaya, Allah pasti telah memilihkan seseorang yang tepat untukku. Seseorang yang akan kuajak bersama – sama merajut mimpi dikota ini. Perlahan – lahan membangun mimpi – mimpi itu jadi nyata di tempat yang sederhana ini. Biar dia jalankan perannya disana dan aku jalankan peranku disini bersama pasangan kami masing – masing yang telah Allah pilihkan. Dan semoga dimanapun kami melangkah tujuan kami tetap sama, ridho Allah.
“Untuk kakakku maaf jika selama ini telah merepotkanmu, terima kasih atas semuanya. Kini sudah saatnya adikmu berjalan sendiri, jangan khawatir Allah tak akan membiarkanku sendiri. Berbahagialah dan sambut kehidupanmu yang baru, meski mungkin kita tak lagi bisa berkomunikasi tapi doa dan tali persaudaraan sesama muslim yang akan selalu menghubungkan kita. Tetap saling mendoakan ya….^^”
"Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya." (Abu Dawud)
Setalah hujan deras, November 2009
Saat luka dan air mata luruh bersama derasnya hujan
Saat luka dan air mata luruh bersama derasnya hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar