Kemarin tak sengaja saya menemukan sebuah artikel yang menurut saya pribadi cukup mengena. Sebagai istri tentunya kitapun hanya perempuan biasa yang juga kadang terbawa emosi dan 'bisa marah'. Suami juga bukan lelaki sempurna yang sikap dan tutur katanya selalu menyenangkan hati kita para istri. Sebagai pasangan suami istri kami juga kadang terpancing emosi jika ada sikap dan atau tutur kata pasangan yang kurang 'sreg' dihati atau bahkan menyakitkan hati. Namun setelah membaca artikel ini setidaknya saya akan lebih berusaha mengontrol emosi, bukankah sebagi perempuan sebaiknya kita memiliki hati yang jauuuuuuuuh lebih lapang agar bisa lebih sabar :)
Berikut artikel ini saya copas dari:
http://www.kabarmuslimah.com/kutahan-amarahku-suamiku/
Suatu hari, dua orang wanita yang bersahabat saling bertemu dan bertukar
cerita. Salah satu dari mereka lalu mengungkapkan rasa penasarannya
bahwa sahabatnya terlihat sangat jarang sekali marah kepada sang suami,
atas bagaimanapun perlakuan yang diterimanya.Lalu sang sahabat
berkata….Ketika kemarahan itu sudah sampai diubun-ubun, lalu aku masih
menahannya dan mencoba tetap mendidik diriku untuk tetap mengingat,
betapa jasanya yang dalam himpitan kesusahan, lelah dan penat, dia
berusaha mencukupi nafkah untuk aku dan keluargaku. Dan tidak jarang
pula, akhirnya dia melupakan perawatan atas dirinya sendiri. Aku seperti
halnya kamu, adalah seorang wanita yang diciptakan lebih lemah dari
pada lelaki. Dan saat kelemahanku itu hadir dan mengusik mereka, seribu
satu kemakluman beliau hadirkan untuk tetap mengerti kekuranganku
sebagai wanita. Terkadang keegoisan kami sama-sama datang, namun naluri
mengalahnya atas perempuan manja yaitu aku, akan segera dimunculkan
olehnya. Direngkuhnya aku dan terucaplah perkataan maaf. Dan, dari
disanalah perdamaian kami tercipta. Dan kamipun semakin bertambah
mesra.Tapi….Tidak jarang pula, ketika rasa “keunggulannya” sebagai
lelaki hadir dan membuatnya sedikit terbawa dalam ego, hal itu memang
membuatku sedikit sakit hati, yah aku kan hanya manusia. Namun
kesempatan itu tidak aku sia-siakan, aku tata batinku sedemikian rupa
sehingga aku terlihat menyenangkannya dalam luasnya hatiku menerimanya.
Aku yakin, Allah yang Maha melihat akan lebih ridho kepadaku saat itu.
Saat tiada teman berbagi, dialah yang menyediakan pundaknya yang kuat
untukku menangis. Kekuatan pikiran dalam logisnya dia berpikir, yang
jelas-jelas memang lebih kuat dari pada aku, akhirnya memberi ruang
bagiku sejenak untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sekuat-kuatnya
wanita didunia ini, tapi sesuai dengan fitrahnya, wanita tetap dan pasti
akan merasa butuh diayomi oleh laki-laki.
Rasanya tiada teman yang paling pantas aku akrabi selain suamiku. Dan
memang sebagai manusia biasa, dia tidak akan lepas dari kekurangan,
seperti halnya aku. Lalu setelah semua itu aku sadari, untuk alasan
apalagi aku harus menuntutnya menjadi sempurna? Dan dalam keterbatasan
serta kekurangannya sebagai manusia, masih pantaskah aku menuntutnya
untuk harus selalu berlaku dan memberi lebih kepadaku? Dan bukan berarti aku merendahkan diriku sendiri atasnya, namun…
dengan kalimatku ini, aku mencoba sadar diri, betapa aku mempunyai
banyak kekurangan sebagai wanita. Dan dia tetap memilih aku, dan
memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu hidupnya denganku, membimbing,
mengayomi, dan menafkahi aku. Lalu… berilah aku satu alasan, dari celah
mana aku bisa tetap beralasan untuk tidak bisa menahan lidahku atas
suamiku?
Dengan menahan kemarahanku padanya, insyaAllah akan memberi gambaran
jelas tentang diriku, istrinya, yang sebenar-benarnya. Jika aku selama
ini belum dapat membuatnya bangga, mungkin saat inilah yang tepat bagiku
mengukir kenangan yang dapat membanggakannya. Membuatnya bangga bahwa
aku adalah istri yang dapat tetap mengertinya, bahkan dalam keadaan
marah sekalipun. Setelah itu, aku yakin dia akan berkata pada hatinya,
bahwa dia bersyukur telah meletakkan pilihan atas separoh hidupnya
kepadaku.
Dan apakah kau tahu, bahwa suamiku adalah ladang amal yang InsyaAllah
akan membawa ku kepada surga Allah yang abadi. Keridhoannya adalah
kunci pembuka pintunya, dan mengalah sedikit bukan berarti menjadi
budaknya, namun sikap sabar itu yang justru akan memuliakan kita
dihadapannya.
Maka, aku belajar untuk tidak merelakan hidup dan hatiku diatur oleh
rasa. Rasa amarah, rasa benci, dan apapun yang justru akan membelokkan
fokusku dari menghimpun pahala dari sang maha kuasa. Maka dari itu pula,
aku ingin mencintai suamiku karena Allah. Hanya karena Allah saja. Jadi
setiap kali aku marah kepadanya, aku akan kembali mengingat Allah dan
mengingatnya hanya sebatas manusia yang penuh dengan kekurangan, seperti
halnya aku. Hal itu yang menjauhkanku dari penghakiman apapun atas
suamiku. Setelah itu, betapa hanya keteduhan yang akhirnya memenuhi
hatiku, dan hilanglah amarahku.
Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasullullaah SAW. Bersabda :
“Setiap orang di antaramu adalah penanggung jawab dan setiap orang
diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah
penanggung jawab atas umatnya, ia diminta tanggung jawab atas
kepemimpinannya, seorang suami penanggung jawab atas keluarganya, ia
diminta tanggung jawab atas kepemimpinanya, seorang istri penanggung
jawab atas rumah tangga suaminya (Bila suami pergi), ia diminta tanggung
jawab atas kepemimpinanya.“
( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi )
Semoga artikel diatas bisa bermanfaat dan bagi yang tidak berkenan mohon maaf, saya hanya ingin mengingatkan diri saya pribadi. Dan masih berkaitan dengan menahan amarah ditegaskan pula oleh beliau Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “Orang hebat bukanlah
orang yang selalu menang dalam pertarungan. Orang hebat adalah orang
yang bisa mengendalikan diri ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).