Sedikit berbagi pengalaman mba sinta yudisia dari sebuah milis, semoga bermanfaat. Selamat membaca
======================================================
‘Berhasil’ punya definisi bermacam-macam, secara materi cukup baik
sandang, pangan, papan (plus kebutuhan lain yang tidak termasuk 3 itu
tapi sangat mendesak : kendaraan, laptop, hape!, tabungan). Intinya,
pencapaian materi.
Berhasil ada pula yang mengukurnya dengan waktu.
Pernikahan yang melewati angka 5, 7, dinyatakan berhasil (bagaimanapun
ruwetnya ).
Perusahaan yang melewati angka 5, 7 dinyatakan berhasil apalagi jika
melewati angka 10-15 tahun, sebab konon kabarnya semua krisis termasuk
krisis moneter berulang tiap satu decade.
Pedagang yang bisa tetap eksis dan konsisten dengan produknya 5, 7
bahkan lebih juga akan menuai keberhasilan.
What about writer? Di titik mana ia menyatakan dirinya berhasil?
Ketika bukunya best seller, terjual jutaan copy, bukunya laris manis?
Ketika jumlah buku yang ditulisnya mencapai lebih dari 50 judul?
Ketika bukunya difilmkan? Ketika bukunya meraih banyak penghargaan dan
pujian dari para kritikus dan resensor?
Ada baiknya saya menceritakan histories kenapa saya menulis. Manusia
tidak boleh melupakan sejarah , belajar dari sejarah, mengevaluasi
dari sejarah, bisa menimbang sejauh mana keberhasilan suatu kaum jika
sudah dibandingkan dengan sejarah. Secara teknologi kita memang jauh
lebih maju disbanding jaman untanya Rasul Saw tetapi secara moral kita
bahkan meloncat memasuki zaman Nabi Luth, dan Nabi2 dengan kaum yang
dibinasakan.
Baik, kembali pada histori menulis.
Awalnya, saya jenuh menjadi ibu rumah tangga. Alhamdulillah, saya
punya ibu yang luarbiasa yang selalu bilang “…Sinta, kamu itu punya
potensi! Jadi ibu rumahtangga nggak melulu hanya urusan domestic kan?”
Saya suka menjahit dan memasak kue. Hampir semua baju Inayah –putri I
saya- gaunnya saya buat sendiri. Tiap kali teman-teman lihat mereka
bilang “ bagus banget! Mbak Sinta bikin butik saja.”
Saya bercita-cita punya usaha garment, konveksi, butik, termasuk
mengembangkan kesukaan saya pada patchwork. Saya punya mesin jahit dan
kepekaan untuk mengkombinasikan kain-kain.
Selain hobi menjahit, saya juga hobi bikin kue. Kue-kue saya titipkan
ke pasar dan menghasilkan penghasilan yang luamyan. Saya dan adik
saya, Erisa Kurnia Nanda, berencana bikin toko roti muslimah berlabel
hala karena kami sama-sama suka masak dan makan!
Bikin butik apa toko roti ya?
Baju apa kue?
Pakaian atau makanan?
Nanda tetap suka bikin kue , terkenal enak dan selalu laris manis di
kalangan teman-teman dan tetangga. Ini dilakukannya sambil kuliah dan
kerja, kadang dilakukan ketika malam larut. Sayapun juga begitu, bikin
kue saat anak-anak sudah tidur.
Tapi...saat punya anak 3 saya repot bukan main. Gak bisa bikin baju,
gak bisa bikin kuet. Akhirnya ada mesin ketik nganggur, jadilah saya
corat coret dan ketik mengetik. Tahu nggak cerita saya pada awalnya
yang dikirim ke Annida dan dimuat?
• Langkah Awal, cerita tentang gadis manja yang memulai usaha
• Gaun Biru, cerita seorang ibu rumahtangga yang kepingin bikin gaun
tapi gak punya duit akhirnya bikin dari bahan seprei
• Jalinan Kasih Yang Terkoyak , juara II LMCPI Annida, setting nya
Aceh (saya pernah ikut suami di Medan),dsb
cerita saya nggak jauh-jauh dari kue dan baju!
Mana yang lebih dahulu melaju, itu yang saya pilih!
Ternyata menulis membuat saya kembali mencintai hobi yang sempat agak
lama tertinggal : membaca dan mengkliping koran. Akhirnya saya
meninggalkan cita-cita membuat butik dan bakery, lalu beralih profesi
jadi penulis.
ADA TANTANGANNYA?
Ups, tentu ada.
Saya sudah merintis bisnis jahit menjahit cukup lama demikian pula
modal bikin kue. Memulai menulis dari awal seperti belajar merangkak
lagi. Pertanyaan yang muncul :
1. Saya mau menulis cerita apa? Anak , remaja, dewasa?
2. saya mau bikin cerpen atau novel, atau cerita bersambung?
3. saya mau kirim ke mana sih, media Islam, nasional atau mau
diterbitkan oleh penerbit?
.................dalam perjalanan menulis, ah, bikin kue langsung
sorenya terima duit. Bikin tulisan, kapan terima duitnya? Sebetulnya
saya bakat nulis nggak sih? Setahun, dua tahun nulis, masih mau
diteruskan apa nggak? Apa saya banting stir lagi jadi pengusaha
seperti yang dari dulu saya impikan?
YANG PERTAMA DITULIS .....
Kumpulan Cerpen!
Kenapa?
Karena cerpen-cerpen itu kalau tidak dimuat di majalah atau media
massa, bisa dikumpulkan dan dikirim ke penerbit. Nakal ya! Lagipula,
bikin cerpen aja banyak-banyak 15-20, nanti diedit dan dipilih
penerbit. Sisanya (kadang sisa 5 atau 7) kita tambahin lagi cerpen2
dan dikirim ke penerbit lain.
Kumpulan cerpen yang pertama Cadas Kebencian, buku favorit saya,
diterbitkan MIZAN. Kumcer ini mengokohkan niat bahwa saya MUNGKIN ada
bakat di dunia kepenulisan. Masih mungkin lho...saya masih belum yakin
ternyata;-(
Lalu saya mulai kenal mbak Asma Nadia. Beliau memasangkan dengan mbak
Izzatul Jannah di Gadis Diujung Sajadah. Saya juga mengirimkan
Kuntum-kuntum Bunga, Alhamdulillah diterbitkan oleh FBA Press,
penerbit di Jakarta yang sekarang sudah gulung tikar.
Kapan ya pertama kali nulis? Oya, 2002.
Akhirnya saya getol nulis, kirim kesana kemari, ditolak. Ada yang
diterbitkan dengan revisi dll. Tentang liku2 menulis...nanti saja ya.
Nah, ternyata selama tahun-tahun perjalanan itu saya masih dikejar
pertanyaan : aku ini benar-benar mau menghabiskan umur dengan jadi
penulis atau apa sih? Aku ini sebetulnya mau nulis apaaaa?
Maka jadilah kutu loncat.
Menulis Kumcer.
Menulis cerita remaja.
Menulis cerita anak
Menulis non fiksi
Menulis novel.
Menulis antologi, keroyokan bareng teman-teman.
DI TITIK MANA AKU SEKARANG?
Aku bingung dengan dentitas kepenulisanku lalu bertemulah aku dengan
FLP (anugerah Tuhan untuk bangsa Indonesia –kata Taufik Ismail). Aku
bertemu teman2 FLP Yogya : Ganjar, Jazimah, Iwul, Prima, Lilo, bunda
Kun, mbak Koes, Zen, Aries. Juga teman-teman FLP lain.
Semoga Allah SWT memberkahi Ganjar yang menitipkan pesan yan
gmembakar semangatku :
”......mbak Sinta kayaknya konsen aja di fiksi sejarah. Bagus tuh
nulis di situ.”
Aku memang habis memenangkan lomba GIP sebagai juara I, Singa-singa
di Padang Kekuasaan yang terbit dengan judul Sebuah Janji.
Ucapan Ganjar membakar semangatku. Pertemuan dengan adik2 FLP memacuku.
Ooooh, ternyata jadi penulis itu penting ya?
Aku mulai merasa luwes menulis setelah 3-4 tahun. Pertama kali pindah
ke Surabaya, aku menemukan Lafaz Cinta di Toga Mas. Aku bangga dan
bahagia sekali ketika melihat covernya yang spesial.
Waaah, aku sekarang beneran jadi penulis ya ? (Itu lagi pikiran konyol!)
Pertemuan dengan mbak Helvy di ITS memacu kembali adrenalinku.
”Sinta, Lafaz Cinta mbak Helvi rekomendasikan jadi bahan bacaan anak2
sastra. Tapi kok ceritanya masih dangkal ya? Padahal kamu masih bisa
lebih tajam, lebih dalam menceritakan.”
LEBIH TAJAM, LEBIH DALAM, LEBIH BAGUS...ITU SEPERTI APA?
Semoga Allah SWT memberkahi pula mas Dul Mizan (sekarang dah nggak disana).
”....mbak Sinta coba baca Perempuan Suci –Qaisra Shahraz dan Taj
Mahal-John Shors. Pelajari.”
Aku memburu buku itu di Islamic bookfair. Aku juga menemukan
Samarkand- Amin Malouf dan buku-buku lain. Aku baca berulang-ulang.
Aku tersesap. Aku terpana.
Ow, jadi menceritakan tokoh itu seperti Jahanara dan Isa, seperti
Umar Khayam ya?
Ow, jadi setting tentang Benteng Merah itu penggambarannya seperti itu ya?
Ow, ternyata karakter Umar Khayyam dan Hassan Sabah itu
penggambarannya begitu ya?
Ow, ternyata buat plot, alur itu begitu rumitnya ya?
Ow, konflik Khondamir, Aurangzeb, Dara itu demikian tajam menikam dan
meninggalkan jejak di benak pembaca ya?
Ow, ....ternyata....aku masih jauuuuuh...dari seorang penulis! Aku
masih pembelajar!! Armanusa, Lafaz Cinta, Rival-rival istri dsb
..BELUM APA-APA.
Padahal aku sudah lebih dari 5 tahun menulis, sekarang sudah 7 tahun malah.
Kapan sih aku benar-benar berhasil jadi penulis?
..............7 TAHUN KEMUDIAN
BEP : Break Even Point 3 tahun. Perusahaan normalnya 3 tahun BEP,
artinya modal harus kembali 3 tahun paling lambat . Kalau tidak,
namanya rugi. Harus ganti haluan, harus ganti usaha dan pasar, harus
ganti produk.
3 tahun jadi penulis sudah jadi apa? Royaltinya banyak, bukunya banyak?
7 tahun dari aku mulai memutuskan untuk benar-benar menulis
Alhamdulillah hasil karyaku sudah diterbitkan 40 judul kurang lebih.
Tetapi dari semua, tidak semuanya masterpiece. Lafaz Cinta menurutku
cukup bagus, berikutnya The Road to The Empire dan Reinkarnasi
Alhamdulillah lebih mendapat banyak apresiasi dari teman-teman.
Artinya, 2 karyaku yang beelakangan dinilai cukup bagus bagi khalayak.
Dibandingkan 40 judul yang lain, TRTE & Reinkarnasi memang menguras
semua energiku. Energi doa, energi berpikir, energi kantong (referensi
butuh biaya besar), energi2 yang lain. Apa buu2 ku yang digarap
seenaknya? Tidak juga.
Tapi belajar memang butuh waktu. Belajar membutuhkan kesabaran. Di
atas segalanya belajar membutuhkan keikhlasan. Maka aku teringat
dialogku dengan suamiku suatu hari
”Lafaz Cinta best seller, Mas. Aku diminta menulis yang semacam itu
lagi. Bagaimana?”
”Menurut Inta bagaimana?” (suamiku sampai 15 tahun menikah masih suka
memanggilku dengan nama kecilku –Inta)
” Inta pingin nulis Takudar yang ke 3, sekalipun yang ke 1-2 jeblok
di pasaran.”
”Memang kenapa pingin nulis itu?”
Aku merenung, tiap kali diskusi ini bolak balik menangis.
”...soalnya Inta terkesan sekali sama Takudar, sama kaisar2 Mongolia
yang muslim. Sama Iskandar Beg. Sama Thariq bin Ziyad. Pokoknya sama
para pejuang muslim yang bijaksana dan mulia.”
”Ya sudah, kalau gitu nulis Takudar lagi aja, Takudar 3.”
”Tapi...yang ini belum tentu laku di pasaran. Kalau sekuel Lafaz
Cinta pasti best seller lagi. Royaltinya lumayan. Mas gak papa Inta
gak bisa menyumbang royalti buat keperluan rumahtangga kita?”
“Sudahlah, pakai gaji Mas saja apa adanya. Menulis Takudar saja
sebagai ladang da’wah.”
“Tapi....gak papa Mas? Menulis Takudar setahun, royaltinya belum
tentu, di pasar belum tentu laku. Beranti kalau Inta menulis Takudar
lagi siap-siap 3 tahun ke depan gak punya royalti memadai?”
“Iya..sudah gapapa. Nulis Takudar aja buat da’wah. Urusan nafkah biar
Mas aja, Inta yang penting nulis.”
Begitulah embrio The Road to The Empire dan Reinkarnasi.
Ditulis dengan keringat dan airmata. Airmata karena aku terlanjur
mencintai Takudar, sang pejuang yang rela melawan arus demi
mengobarkan kebenaran. Airmata karena saat aku menulis Takudar lewat
tengah malam, aku berdoa pada Robbku :
“….ya Allah, Kau Maha Tahu, aku menulis Takudar ini karena ingin
menuliskan kebaikan. Ini bukan novel laris yang diminati banyak orang
tetapi Engkau Maha Kaya. Bukan penerbit yang memberiku rezeki melalui
royalti. Engkau yang Memberi Rezeki orang-orang yang berjuang di
jalanMu. Aku minta rezeki padaMu, aku minta uang padaMu, aku minta
bantuan dan kecukupan dariMu.”
Tiap hari aku berdoa :
Ya Allah barakahilah The Road to The Empire. Barakahillah
Reinkarnasi. Bantu aku menyelesaikan sebaik-baiknya naskah Existere
yang tengah kutulis. Jadikan buku-buku hamba barakah, best seller,
mencerahkan bagi siapa saja yang membacanya.
Ya Allah, Bantu aku agar amanah sebagai istri, ibu, penulis,
mahasiswa, ketua FLP Jawa Timur.
Sekarang aku adalah pembelajar.
Aku masih belajar sebagai seraong istri & ibu, aku masih belajar
untuk jadi penulis yang baik, akumasih belajar untuk jadi manager yang
baik, aku masih belajar menjadi manusia yang baik.
Bukankah belajar itu dari buaian sampai liang lahat?
Ramadhan hari ke 5, 1430 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar