Selasa, 08 Desember 2009

Sekelumit Aku dan ibuku (part 2)

Maaf ibu aku membuatmu panik…
Pernah suatu ketika kami pulang dari rumah nenek mengendarai sepeda motor tahun 80-an, saat itu usiaku baru beranjak 3 tahun. Tiba – tiba ditengah jalan hujan deras dan ternyata kami lupa membawa jas hujan. Sejenak kami berteduh disebuah rumah di pinggir jalan, hari semakin sore dan hujanpun belum terlihat akan berhenti. Ibu sangat khawatir melihatku yang mulai kedinginan, ibu merasa bersalah karena lupa membawa jas hujan sehingga aku harus ikut hujan – hujanan. Perjalanan masih cukup jauh, meski belum reda tapi hujan sudah tidak terlalu deras. Daripada kemalaman dijalan kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Melihatku yang hanya diam tidak merengek sedikitpun, ibu sangat khawatir. Sampai – sampai ibu “membungkusku” hingga berlapis – lapis. Ibu hanya ingin memastikan bahwa aku tidak kedinginan, tak terbayangkan seperti apa rupaku saat itu. Dari mulai jaket, selimut bayi hingga karung goni yang diberikan pemilik rumah tempat kita berteduh, rapat membungkus tubuhku.

Masih di usia tiga tahunku, saat itu hari sudah mulai malam aku mendadak muntah – muntah. Bapak dan ibu panik dan langsung membawaku ke dokter terdekat. Melihat wajahku yang pucat yang hanya diam, ibu semakin kasihan padaku. Begitu namaku dipanggil ibu langsung masuk keruang dokter. Tidak lama setelah dokter memeriksa keadaanku, aku langsung dirujuk untuk dirawat dirumah sakit kabupaten. Saat itu ibu semakin panik melihat anak pertamanya lemah lunglai tak berdaya, usiaku masih balita namun harus merasakan ditusuk jarum infus. Kurang lebih lima hari aku benar – benar terkapar dan lima hari itu pula ibu tak pernah jauh dariku. Ibu tak tega saat melihat suster mengambil sample darah dari tubuh kecilku. Saat melihatku mulai riang kembali itulah saat terindah bagi ibu. Terima kasih ibu telah merawatku.

Tidak hanya berhenti disini, kepanikan yang kubuat masih berlanjut hingga aku duduk dibangku sekolah dasar, “Maafkan eka ibu, lagi – lagi membuatmu panik”. Mungkin karena terlalu sering bepergian jarak jauh menggunakan sepeda motor atau mungkin memang kondisi badanku yang lemah. Saat itu usiaku kurang lebih delapan tahun, dokter mendiagnosa bahwa aku terkena penyakit bronchitis. Penyakit paru – paru basah yang sering kali menyebabkanku sulit untuk bernafas. Setiap kali penyakitku kambuh, nafas bagaikan “mau putus”. Ya, aku nyaris putus asa setiap kali penyakitku kambuh, apakah hidupku masih lama lagi? Ibu yang selalu setia menggosok punggungku agar aku bisa bernafas, ibu yang selalu ada saat aku butuh sesuatu, ibu yang selalu terjaga saat aku tak bisa tidur jika sedang kambuh. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan dokter, demi kesembuhan putri tercintanya Bapak dan Ibu memutuskan agar aku dirawat jalan selama 2 tahun. Selama dua tahun hidupku tak pernah putus dari obat karena jika sehari saja aku lupa minum obat maka pengobatan harus dimulai lagi dari awal. Masa – masa yang berat yang membuatku kini paling “takut” minum obat. Saat aku hanya bisa menangis karena tak mau minum obat, dengan lembutnya ibu terus membujukku sampai aku menurut. Alhamdulillah seperti kata dokter, jika tidak ada keturunan maka penyakitku pasti akan sembuh. Karena ibu pula yang sabar merawatku, aku masih bisa “bernafas” hingga saat ini. Terima kasih ibu…^^

Ibu, aku mulai kesal denganmu…
Aku yang mulai beranjak dewasa, aku yang mulai belajar mencari jatidiri, aku yang mulai menemukan duniaku sendiri, aku merasakan ada yang beda pada diriku. Ya, sikap ibu berbeda tidak seperti ibu teman – temanku. Ibu tak selalu memberikan apa yang aku minta, uang saku-ku sangat kecil jika dibandingkan dengan teman – teman, ibu tidak mengerti apa yang aku inginkan. Aku juga ingin seperti teman – temanku, ingin punya kaos dan jam tangan yang lagi tren saat itu. Aku juga ingin nonton konser bareng teman – teman. Aku ingin dapat hadiah saat jadi juara kelas. Aku ingin ini, ingin itu dan macam – macam keinginan yang menurutku masih wajar – wajar saja. Tapi kenapa ibu sulit sekali menuruti keinginanku…

Tanggungjawabku mulai ditambah, aku harus membantu ibu menyelesaikan pekerjaan rumah. Mencuci baju, menyetrika, menyapu, cuci piring bahkan kadang memasak nasi…aku masih ingin bermain ibu! Memang sejak aku SD kelas 6, kami sepakat tidak lagi memakai jasa pembantu rumah tangga, pekerjaan dilakukan bersama, sebagai gantinya aku dan adikku bisa mendapat tambahan uang jajan. Tapi…waktu bermaninku jadi berkurang, waktu nonton tv juga berkurang. Tak jarang aku mengeluh tapi ibu selalu sabar menghadapi keluhanku dan mengatakan bahwa ini semua demi kebaikkanku nanti.

Namun saat aku beranjak dewasa, akhirnya aku sadar bahwa engkau ingin mengajariku banyak pelajaran kehidupan sebagai bekalku kelak dimasa depan. Semuanya engkau lakukan karena engkau sangat menyayangi anak – anakmu. Hal – hal yang dulu pernah membuatku kesal, kini justru aku syukuri. Terima kasih ibu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Get Well Soon My Sweety

  Ini adalah catatan pertamaku di tahun 2022, catatan pertama yang diawali dengan kesedihan. Kesedihan karena tulisan ini aku buat saat seda...